Wednesday, January 11, 2006

~Memoirs For The Living~

Seorang anak laki-laki berumur sekitar 8 tahun baru saja keluar dari kelasnya. Sekolah telah usai, namun sore itu hujan turun cukup deras. Berpikir sebentar, ia bersandar di tembok kelas.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam masuk ke gerbang sekolah. Derit ban mobilnya memercikkan air ke arahnya. Anak laki-laki itu menghindar. Salah seorang temannya masuk ke mobil dengan terburu-buru, tak mau terkena turunnya hujan yang deras. Di dalam mobil, terlihat kedua orang tuanya tersenyum. Anak laki-laki itu melihat dari kejauhan seraya menghela nafas.

Tak bergeming, ia tetap bersandar. Kali ini memperhatikan teman-temannya satu persatu meninggalkan sekolah. Beberapa dijemput dengan motor, dan diantaranya hanya berjalan memakai payung. Mereka tampak bersuka ria menyambut hujan. Seorang wanita –entah ibu atau pembantunya-, nampak memegang payung sambil membawakan tas anak-anak masing-masing.

Anak itu tetap merenung memandangi hujan. Berdiri mematung, hingga semua orang pulang. Sekarang sekolah nampak sepi, tak ada seorang pun kecuali dirinya dan suara hujan. Akhirnya anak itu menghela nafas panjang. Tak ada pilihan lain, pikirnya dalam hati. Ia harus pulang apapun yang terjadi.

Hari itu hujan cukup deras, namun tak mengurangi kegalauan hatinya. Ia berjalan lurus, masuk ke arah perumahan kumuh. Sepatunya yang nyaris tak berbentuk menjejak ke tanah berlumpur. Ia memegangi tasnya yang robek dengan hati-hati, takut kalau-kalau buku pelajarannya basah.

Langkahnya berhenti di depan sebuah rumah kecil beberapa petak. Halaman luarnya nampak tak terawat. Anak itu terdiam memandangi tempat itu. Hujan semakin deras, namun tetap tak terpikir olehnya untuk segera masuk ke rumah itu dan menghangatkan diri. Entah kenapa ia lalu menghitung jumlah kancing bajunya. ‘Masuk’, ‘tidak’, ‘masuk’, tidak’…. Dan akhirnya, pilihan jatuh ke ‘tidak’.

Hujan masih belum berhenti, dan ia tetap berjalan menjauhi pekarangan itu. Bajunya sudah benar-benar basah, tapi tampaknya ia tak peduli. Menyusuri jalan besar, ia melihat suatu fenomena aneh di pinggiran jalan. Tertarik, ia berhenti sebentar, sambil berjongkok mengamati.

Seekor kumbang besar telah mati. Tak berapa lama, beberapa ekor semut menggiringnya ke lubang. Mereka tampak kesusahan melawan genangan air hujan, namun toh akhirnya sosok kumbang itu pun hilang, masuk ke dalam lubang. Beberapa ekor semut sisanya ikut masuk ke sana. Selang beberapa detik pemandangan itu pun menghilang. Ia pun segera berdiri seraya melanjutkan langkahnya yang tak pasti.

Aku masih tidak mengerti….

Hujan tidak juga berhenti, namun kali ini sudah tidak terlalu deras. Masih dengan anak laki-laki tadi. Ia berjalan ke arah pertokoan di pinggiran jalan. Ia berjalan paling pelan diantara orang-orang sekitarnya yang berlarian menghindar hujan. Pikirannya menerawang ke kumbang tadi. Hampir saja ia menerobos lampu merah, kalau seorang gadis berseragam sekolah tak memperingatkannya.

Makhluk itu tadinya hidup, namun akhirnya pasti akan mati,

Anak itu berbelok ke arah gang-gang kumuh. Bermaksud menghindari hujan. Kali ini jari-jarinya sudah mengkerut. Badannya sudah menggigil. Kepalanya juga sudah mulai pusing. Namun tiba-tiba saja ia menghentikan langkahnya di mulut gang. Sesuatu yang mengerikan terjadi disana.

Semua, yang hidup di dunia yang sempit ini berdesak-desakan mencari kehidupan.

Beberapa laki-laki bertubuh besar nampak memegang senjata tajam dan mengeroyok seorang yang lebih kecil. Orang itu merintih meminta maaf, namun rintihannya itu segera berhenti sesaat setelah salah seorang yang paling menyeramkan menusukkan senjatanya –entahlah, anak itu tidak bisa melihat dengan jelas-.

Hidup diatur oleh kekuasaan. Semua saling menyeleksi dan bertahan hidup.

Dengan perasaan takut yang membelenggu, ia lari sekuat tenaga menghindari tempat itu. Hujan masih turun dengan anggunnya, meninggalkan percikan-percikan kecil yang agung.

Kalau tidak hati-hati, maka selanjutnya adalah giliranmu!


Hari sudah semakin sore, namun pelangi belum juga muncul. Anak laki-laki itu berhenti sebentar di depan sebuah restoran. Lagi-lagi ia menghitung kancingnya -entah untuk tujuan apa-. ‘Pulang’, ‘Tidak’ ‘Pulang’ ‘Tidak’ …. Namun akhirnya pilihan jatuh ke ‘pulang’, dan ia terlihat sangat gugup. Ia berusaha menguasai dirinya. Dipeluknya tasnya yang basah seraya menghela nafas panjang.

Hidup terus mengawasi, dan diawasi…

Untuk yang kesekian kalinya dalam sehari itu, ia memasuki pekarangan kumuh yang tadi ia tinggalkan. Entah untuk yang ke berapa kali ia berusaha menghindar tempat tersebut. Ia mencoba. Ia berusaha. Namun ternyata tak bisa. Itulah tempatnya untuk pulang.

Ada yang memperoleh hidupnya dengan mudah….

Hujan hampir berhenti, namun angin bertiup lebh kencang dari biasanya. Ia berhenti sebentar melawan angin. Daun-daun pepohonan di sekitarnya berjatuhan hebat. Ada diantaranya yang sudah benar-benar coklat, tapi ada pula yang masih hijau, namun ada pula yang masih menempel di pepohonan. Tetap bertahan, entah untuk berapa lama..

Ada pula yang menjalani hidupnya dengan penuh derita

Anak itu berjalan sebentar. Sampailah ia ke sebuah rumah petak paling kecil diantara sekitarnya. Anak laki-laki itu memberanikan diri mengetuk pintu.

Untuk apa manusia hidup, kalau pada akhirnya akan mati juga?

Tak berapa lama, seorang pria besar membuka pintu dengan kasar. Tangannya memegang sebuah botol minuman dengan bau tidak enak. Sorot matanya benar-benar tidak ramah. Anak laki-laki itu terkejut sekali. Reflek, ia mundur, berusaha untuk lari. Ia tak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Apakah mungkin in karena ia pulang terlalu larut, hingga membuat ayahnya marah?

Aku tetap tidak mengerti

Secepat kilat, pria itu mencengkram tangannya, kemudian menyeret dan melemparnya masuk ke dalam rumah. Wajah pria itu tak berekspresi, namun matanya menyiratkan tatapan benci. Ia lalu menenggak minumannya lagi, sebelum akhirnya memukulkan botol itu ke tembok. Membuat dasarnya pecah.

Seharusnya anak itu tahu, mungkin terakhir itulah ia bisa melihat hujan. Sayang, ia tak sempat –dan tak akan bisa lagi- melihat pelangi.

Dan pintu rumah pun tertutup.

Tuhan, kalau masih ada

Dengarkanlah aku

Dengarlah tangisanku

Jadikanlah aku malaikat yang tak berdosa

Berikanlah aku kebahagiaan



****

Hari itu tidak hujan. Namun tidak pula terang, Seorang anak laki-laki berdiri mematung di sebuah bukit. Tanpa berkata sepatah katapun ia merenung. Merasakan angin yang berhembus. Memandang takjub pada daun-daun –baik hijau maupun coklat- yang berguguran memenuhi tanah bukit. Ia merasa aneh.

Sembari berjongkok, ia membersihkan seonggok nisan yang tertutup daun. Disentuhnya perlahan marmer itu. Marmer buram yang bertuliskan namanya sendiri. Ia lalu tersenyum dan memejamkan matanya. Berusaha membalik masa lalu dalam ingatannya. Ia berusaha. Namun sepertinya hatinya menolak.

Hari itu hujan tidak turun, namun perasaannya seperti baru saja melihat pelangi. Ia bangkit dan berdiri. Berbalik melangkah ke atas bukit. Perlahan, ia berlari, mengejar beberapa sosok yang tak asing di atas sana. Sosok teman-teman sebaya yang dulu rasanya pernah ia kenal. Mereka balas tersenyum.

Dahulu, pikirnya, sosok anak-anak itu sangat menyedihkan. Ia kerap melihat mereka d televisi. Dengan baju compang-camping dan makanan seadanya, mereka kerap kali menjadi objek berita di tempat-tempat rawan konflik.

Sekarang aku mengerti, Ya Tuhan…

Namun sekarang mereka berbeda. Wajah mereka nampak bersinar, dengan sayap bagaikan salju yang muncul dari balik punggung mereka. Anak itu tersenyum seraya berjalan ke arah mereka. Mungkin, senyum yang pertama selama beberapa tahun terakhir ini.

Terima kasih
****
Note :
A very old so-called short story. Seemed like another unfinished melancholy prose. Nothing much to say, i just want to flood up my very own blog XD.

No comments: