A Cry in The AirIndonesian mode : ON
Spoiler Alert status : green
Aku tidak begitu ingat dengan jelas, kapan tepatnya aku mulai menulis.
Yang kuingat adalah, ketika aku merasa sedih atau gundah, segera kuambil pena dan mulai menulis. Akan kutumpahkan semua perasaan yang mengikat itu ke dalam kertas. Bahasaku memang masih sangat berantakkan, dengan frase yang juga tidak terlalu bagus, namun semua tulisan yang aku buat memang bukan untuk publikasi, alias hanya untuk konsumsi pribadi –maaf kalau kedengarannya terlalu egois-. Semua itu karena aku kurang tahan berlama-lama dengan kebanyakan ide yang menumpuk di kepala. Yah sebelum semua ide itu menghilang dengan sia-sia, tak ada salahnya kan, aku burn ke dalam sebuah tulisan yang tidak berharga =).
Sejak kelas 1 SD, aku suka menggambar (dan membuat komik pada saat itu juga). Kebiasaan itu terus berlanjut hingga aku SMP. Saat-saat itu memang momen yang paling produktif, karena aku mempunyai begitu banyak teman (dan juga rival tentunya =P) dengan hobi dan ketertarikan yang sama. Dan saat SMP itulah aku menulis novel pertamaku. Mengapa novel? Hanya karena aku tidak mampu membuat cerpen. Bukan apa-apa, cerita sederhana bisa menjadi sangat panjang bila aku tulis. Aku tidak bilang bahwa kisah-kisah tersebut bermutu, tapi aku begitu asyik sehingga tidak sadar telah menulis lebih dari 40 halaman saat pertama kali :S. (cerita yang jauh dari kategori ‘bagus’ sebanyak 40 halaman? Dapat kau bayangkan betapa membosankannya T_T).
Saat duduk di bangku SMA, aku baru merasakan betapa sakitnya dikhianati orang-orang yang harus kau anggap keluarga. Jika kau jujur, kau akan dibohongi, jika kau percaya, kau akan dikhianati. Dan saat itu, kau harus benar-benar bergantung pada kekuatan sendiri. Aku tidak melebih-lebihkan, apalagi mengada-ngada. Setidaknya, itulah yang kurasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu. Kala itu, menulis memang benar-benar menjadi obat yang mujarab. Ia akan setia mendengarkan keluh-kesahmu, bahkan ia akan menjadi tempat dimana kau memutar kembali memori-memorimu (baik yang ingin kau ingat ataupun kau lupakan). Perlahan tetapi pasti, akhirnya aku bisa menempatkan diri dengan benar di tempat itu, pastinya dengan tetap menjadi diriku sendiri.
Hingga sampailah kini di bangku perkuliahan. Kehidupan metropolis yang pathetic, benar-benar menjauhkan aku dari menulis. Bukan, menulis yang kumaksud disini bukanlah menulis esai ataupun laporan, tapi menulis apa yang ingin kau tulis dari lubuk hati terdalam. Lagi-lagi aku tidak pernah bilang bahwa aku menikmati menulis tentang segala esai dan project yang berlebihan menyita waktu, tenaga dan pikiran =).
Dan akhirnya aku baru menyadari euforia yang sedang terjadi di dunia tulis-menulis. Betapa anak-anak muda sekarang begitu gencarnya menulis, hingga muncullah beberapa genre baru dalam dunia kepenulisan. Teen lit? Chick lit? ataupun Metro-lit? Jujur saja, aku sedih melihat hal tersebut. Sedih yang lebih kepada iri. Mereka telah memulai dengan berani. Mereka telah selangkah lebih maju. Meninggalkan aku disini yang masih berkutat dengan segala kepenatan dan kehampaan. Aku ingin seperti mereka. Aku ingin kembali menulis. Walapun aku sadar, mungkin tulisanku begitu tidak pantasnya untuk dibaca, namun setidaknya itu akan menjadi obat kekosongan yang melanda selama ini =).
Dan sekarang, saat ini, Singapore, hari Minggu, 4 Desember 2005 pukul 11:36 pm, aku mengambil pena dan sebuah buku berwarna biru yang telah lama aku simpan.
Akupun mulai menulis... lagi.